Selasa, 21 Desember 2010

pemikiran al ghazali


BAB I
PENDAHULUAN
            Sesungguhnya, Al – Ghazali seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan. Pengalamanya sebagai Maha Guru di madrasah Nizhamiyah kemudian menjadi Rektor Universitas Nizhamiyah di Baghdad, dan bertahun – tahun ia mendidik dan mengajar, memberikan kuliah yang karenanya ia begitu cerdas dan ahli pikir ulung, ia ikut pula memikirkan soal – soal pendidikan, pengajaran dan metode – metodenya.
            Al – Ghazali malahan memiliki keistimewaan tentang teori pendidikan yang dimajukannya, yakni penyatupaduan kepentingan jasmani, akal dan rohani, ilmiah dan jiwa agama. Sayang, berbagai pandangan dan teori pendidikan Al – Ghazali yang luas itu tidak terhimpun dalam suatu karya/ kitab khusus, tetapi tersebar dalam berbagai kitabnya yang membahas banyak garapan. Hampir setiap kitab yang dihasilkannya tidak ada yang di spesifikasikan untuk pembahasan pendidikan, namun hampir di setiap produk karyanya selalu menyentuh aspek pendidikan.
            Dalam makalah ini, penulis mencoba menghadirkan sajian pemikiran Al – Ghazali di bidang pendidikan yang meskipun pembahasannya tidak dapat memberikan kepuasan sidang pembaca, tetapi minimal dapat menggugah pembaca untuk mengakui dan  menyadari bahwa pemikiran dan teori Al – Ghazali itu ada, banyak dan patut disimak oleh sebab masih up to date dan aktual untuk memenuhi konsumsi dunia pendidikan dewasa ini. Bahkan jika kita secara jujur, maka akan menemukan banyak pemikiran maupun teori pendidikan yang banyak dihadirkan oleh sarjana merupakan suatu adopsi malah plagiat tanpa izin atas pemikir dan teori pendidikan Al – Ghazali.
            Dalam makalah ini penulis majukan satu pokok persoalan yang kemudian menjadi pijakan pembahasan; pemikiran Al – Ghazali mengenai ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan faktor – faktor pendidikan sebagai unifikasi, dan pemikirannya mengenai pendidikan kaitannya dengan konsep manusia utuh/ kamil sebagai sasaran pendidikan.
            Dan semoga makalah ini dapat berguna bagi sidang pembaca, dalam mengetahui faktor – faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam proses belajar dan mengajar.
BAB II
BIOGRAFI AL – GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin muhammad bin muhammad, mendapat gelar Imam besar Abu Hamid Al – Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M, di suatu kampung Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia keturunan persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja – raja saljuk yang memerintah daerah khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka.
Sejak kecil, Al – Ghazali telah menggemari ilmu pengetahuan (ma’rifat). Ia cenderung kepada pendalaman masalah yang haqiqi (esensial), meskipun dalam hal ini dia terpaksa harus menempuh kepayahan dan kesulitan. Dia berkata mengenai dirinya sendiri:
“Kehausan untuk menggali hakikat segala perkara telah menjadi kebiasaanku semenjak aku muda belia. Tabi’at dan fitrah yang diletakkan oleh Allah SWT dalam kejadianku bukan karena ikhtiar dan usahaku……”. (Al - Munqidz).
Pada masa kecilnya, al – Ghazali pernah mengenyam ilmu dari Ahmad bin Muhammad ar – Radzkani di Khurasan. Kemudian dia berguru kepada Abu Nashr al – Isma’ili di Jurjan. Selain itu dia kembali lagi ke Khurasan.
Diriwayatkan, bahwa ditengah perjalanan menuju Khurasan, dia bersama – sama kawan – kawannya dihadang segerombolan penyamun. Para penyamun itu merampas semua harta dan perbekalan mereka, tak ketinggalan merampas karung milik Al – Ghazali yang berisi buku – buku kebanggaanya yang mengandung hikmah dan ma’rifat. Al – Ghazali meratap dan memohon kepada mereka agar karung itu dikembalikan kepadanya, karena ia sangat ingin untuk mendalami ilmu – ilmu yang ada di dalam buku – buku itu. Para penyamun pun merasa iba kepadanya, lalu mengembalikan buku – buku itu kepadanya.
Diriwayatkan pula bahwa setelah peristiwa itu ia giat mempelajari buku – bukunya. Dia menelaah dan menghafal berbagai ilmu yang ada di dalamnya, sampai ia merasa aman bahwa ilmu – ilmu itu tidak akan hilang.
Kemudian al – Ghazali bermukim di Nasaibur. Disana ia berguru kepada salah seorang pemuka agama masa itu, yaitu Al – Juwaini, Imamul Haramain, yang wafat pada tahun 478 H/ 1085 M. Dari al – Juwaini, dia menerima ilmu Kalam, ilmu Ushul dan ilmu agama yang lainnya.
Al – Ghazali menampakkan kecerdasan dan kemampuannya yang mengagumkan dalam berdebat. Sehingga Imam al – Juwaini menjulukinya dengan sebutan Bahrun Mughriq (lautan yang menenggelamkan). Tatkala al – Juwaini meninggal dunia, Al – Ghazali pun meninggalkan Nasaibur menuju ke kediaman seorang pembantu raja yang menjadi menteri Sultan Saljuk.
Diriwayatkan pula bahwa al – Ghazali terlibat suatu perdebatan dengan beberapa ulama dan ahli pikir dihadapan pembantu raja. Berkat kebijaksanaan, keluasan ilmu, kejelasan di dalam memberikan keterangan dan kekuatan berargumentasi, akhirnya Al –Ghazali memenangkan perdebatan ini. Pembantu raja merasa kagum kepadanya, sehingga pada tahun 483 H/ 1090 M, ia diangkat menjadi guru Besar di Universitas Nizhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, ia juga mengadakan bantahan – bantahan terhadap pikiran – pikiran golongan batiniyah, ismaliliyah, filsafat, dan lainnya.[1]
Empat tahun  kemudian , dia meninggalkan kegiatan mengajar di Baghdad untuk menunaikan ibadah haji. Seusai menunaikan ibadah haji, ia pergi menuju syam dan hidup di mesjid al – Umawi sebagai seorang hamba yang ta’at beribadah. Ia mengembara di gurun – gurun pasir untuk melatih dirinya dengan merasakan kesusahan. Dia meninggalkan kemewahan, memusatkan dirinya kepada zuhud, dan mendalami suasana rohaniah serta renungan keagamaan. Demikian, dengan baik Al – Ghazali mempersiapkan dirinya untuk kehidupan keagamaan serta mensucikan diri dari noda duniawi, sehingga ia termasuk filosuf sufi yang terkemuka. Disamping pembela dan pemimpin Islam terbesar.
Setelah itu Al – Ghazali kembali lagi ke Baghdad untuk meneruskan mengajarnya. Namun penampilannya sudah berubah dengan sebelumnya. Sewaktu berada di Baghdad, ia tampil sebagai guru ilmu – ilmu agama, sedangkan kali ini dia tidak saja sebagai seorang imam dan tokoh agama yang sufi, melainkan seorang guru yang telah benar – benar mengarifkan ajaran Rasullullah SAW sehingga mendarah daging pada dirinya. Buku yang pertama kali disusunya setelah ia kembali ke Baghdad ialah al – Munqiz Minad Dlalal. Buku ini dipandang sebagai referensi terpenting bagi para ahli sejarah yang ingin mengetahui kehidupan al – Ghazali. Buku tersebut memuat gambaran kehidupannya, terutama pada masa terjadi perubahan di dalam pandanganya perihal hidup dan nilai – nilainya. Dalam buku ini, Al – Ghazali melukiskan proses pertumbuhan iman di dalam jiwa, bagaimana hakikat – hakikat Ilahiah dapat tersingkap bagi manusia, bagaimana manusia dapat mencapai ma’rifat dengan penuh keyakinan yang tidak melalui proses berpikir dan berlogika, melainkan dengan jalan ilham dan pelacakan sufi.
Selang sepuluh tahun setelah kembali ke Baghdad, Al- Ghazali berangkat menuju Naisabur. Disini, dia mengajar beberapa waktu lamanya. Al – Ghazali meninggal dunia di kota Khurasan, kota kelahirannya pada tahun 505 H/ 1111M.
















BAB III
PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG FAKTOR FAKTOR PENDIDIKAN
Dalam uraian Bab ini, penulis berusaha mencoba mengadakan pembahasan secara komparatif, yakni mengumpulkan, menganalisis dan membandingkan pokok-pokok pikiran Al–Ghazali, mengenai pendidikan yang diklasifikasikan menurut faktor-faktor pendidikan. Berdasarkan pembahasan yang demikian itu, maka uraian pada bab ini disusun menurut urutan kelima faktor pendidikan, yaitu :
  1. Faktor tujuan pendidikan
  2. Faktor pendidikan
  3. Faktor anak didik
  4. Faktor alat pendidikan
  5. Faktor lingkungan pendidikan
A.     Faktor Tujuan Pendidikan
Al-Ghazali menjelaskan tentang tujuan pendidikan dalam berbagai kitabnya, yang disusun sebagai berikut:
  1. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja.
Al-Ghazali mengatakan:
"Apabila engkau mengadakan penyelidikan/penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri." (AI-Ghazali lhya' Ulumuddin, Juz I, 13).
Dari perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa penelitian, penalaran dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran adalah mengandung kelezatan intelektual dan spirittual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, kepada mereka dalam mencari hakikat ilmu pengetahuan. Demikian Al Ghazali sangat menganjurkan kepada para pelajar agar menjadi orang yang cerdas, pandai berpikir, mengadakan penelitian yang mendalam dan dapat menggunakan akal pikirannya dengan baik dan optimal, untuk me­nguasai ilmu pengetahuan dengan sesungguhnya dan mengerti maksudnya.
Dapat dikatakan, bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan cinta kebenaran yang dikemukakan Al-Ghazali hampir seribu tahun yang lalu masih mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan modern, karena sama-sama menganjurkan untuk menggalakkan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan secara meluas dan merata, terutama dalam rangkaian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tinggi di akhir abad XX ini.
  1. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak
AI-Ghazali mengatakan:
"Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya." (AI-Ghazali, Mizanul ‘Amal, 1961, I, 361).
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa AI-Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fudamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara.
Kemudian ia memberikan nasihat kepada muridnya:
"Hai anak! ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya gila, dan amal tidak pakai ilmu itu akan sia-sia dan ketahuilah bahwa semata-mata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini, dan tidak akan membawa kepada taat dan kelakpun di akhirat tiada akan memeliharamu (menjagamu, menghindarkan) daripada neraka jahanam." (Al-Ghazali, O Anak!’ 1983, 17).
Jadi, antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi, searah dan setujuan maksudnya atau dengan kata lain, ilmu haruslah alamiah dan amal harus ilmiah, sehingga dapat tercapai keharmonisan antara ilmu dan amal perbuatan.
Setiap ilmu dan amal dari setiap manusia mesti dipertanggungjawabkan dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan di tempat lain, ia menegaskannya sebagai berikut:
“Dan jika yang menjadi sengaja (niat) mu hendak menghidupkan syari’at Nabi Muhammad SAW dan mensucikan budi perkertimu serta menundukkan nafsu yang tak putus – putusnya mengajak kepada kejahatan itu, maka mujurlah engkau mujur”
Dalam hal ini Prof. Sikun Pribadi mengatakan bahwa:
“Psycho-hygiene" sebagai satu aspek daripada tujuan pendidik­an. Psycho-hygiene atau kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi ­yang mutlak untuk produktif, kreatif dan progresif. Sebelum kondisi itu terjadi kita tidak akan memperoleh manusia yang dapat melaksanakan segala cita-cita yang luhur."( Sutari Imam Barnadib, 1982, 56).
Kemudian Paul Haberlin, seorang pendidik dari aliran idealisms Objektif merumuskan tujuan pendidikannya sebagai berikut:
“ Yang dididik adalah kecakapan batin dan tujuan hidupnya."
Dr. H. Mahmud Yunus menyatakannya pula:
“ Tugas yang pertama dan terutama yang terpikul atas pundak alim ulama', guru agama dan pemimpin Islam ialah mendidik anak - anak, pemuda-pemuda, putra-putri, putra – putri dan masyarakat umumnya supaya semuanya itu berakhlak mulia dan  budi pekerti yang halus. Padahal hidup bermasyarakat, tolong - menolong, berlaku jujur dan peramah, berlaku adil dalam segala hal, berkasih sayang antara satu dengan yang lain……. (Mahmud Yunus, 1978, 12).
Kemudian Herbert, seorang ahli didik Jerman (1776-1841) bahwa:
“ Tujuan yang asli dari pendidikan ialah mempertinggi akhlak kemanusiaan.”
Dari perbandingan di atas, dapat dikatakan bahwa aspek kejiwaan atau kerohanian yang dikemukakan Al-Ghazali memiliki persamaan dengan pendapat sarjana-sarjana tersebut, meskipun berbeda susunan katanya tetapi sebenarnya tidak berjauhan maksudnya, bahkan berdekatan artinya satu dengan lainnya. Akan tetapi menurut pendapat penulis, konsep moral atau akhlak yang dikemukakan oleh Al-Ghazali lebih luas dan mendalam pembahasannya yang dasar pandangannya dari kandungan ajaran wahyu (agama) daripada pendapat-pendapat sarjana modern.
Akan tetapi menurut pendapat penulis, konsep moral atau akhlak  yang dikemukakan oleh Al – Ghazali lebih luas dan mendalam pembahasannya yang dasar pendangannya dari kandungan ajaran wahyu (agama).
  1. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
Al – Ghazali mengatakan:
“Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adappun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan bagi pimpinan Negara dan penghormatan menurut kebiasaanya. ”
Demikian Al – Ghazali sangat memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus tercipta kebahagiaan bersama di dunia dan akhirat, alasan yang mendukungnya.
“Jelasnya, tujuan manusia itu bergabung dalam agama dan dunia. agama tidak akan teratur melainkan dengan teraturnya duniam dan dunia adakah tempat menyebar benih bagi akhirat dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah bagi orang yang ingin mengambilnya menjadikan alat dan tempat tinggal.”
Demikian itulah Al – Ghazali, sering dengan kepribadian, ia tidak memperhatikan kehidupan dunia semata – mata atau kehidupan akhirat semata – mata, tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya, tanpa meremehkan salah satunya. Jadi, ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim khususnya, menurut Al – Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau kehidupan akhirat semata – mata, akan tetapi harus mencakup kebahagian dunia dan akhirat.
            Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al – Ghazali, meliputi:
1)      Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang berpikir, menggalakkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2)      Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian kuat.
3)      Aspek ke-Tuhan-an, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

B.      Faktor Pendidik
Al – Ghazali mempergunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, al – mu’allimin (guru), al – Mudarris (pengajar), al – muaddib (pendidik) dan al – Walid (orang tua). Oleh karena pembahasan dalam bab ini, meliputi istilah pendidik tersebut, yakni pendidik dalam arti yang umum, yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran.
Adapun pembahasannya dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Profesi pendidik/ pengajar menurut Al – Ghazali
  1. Alasan yang berhubugan dengan sifat naluriah
Dalam Kitab “Ihya Ulumuddin” ia menyebutkan:
“Apabila ilmu pengetahuan kita lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu. Maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu.”
Jadi mengajar dan mendidik adalah sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan.
Akan tetapi posisi pengajar dalam mansyarakat modern dewasa ini, lebih sering hanya di pandang sebagai petugas semata yang mendapat gaji dari Negara atau instansi/ organisasi swasta dan tanggungjawab tertentu, serta tugasnya relativ dilimitasi dengan dinding sekolah, jangan melangkah lebih jauh dari tugas dan tanggungjawab (formal)nya.
  1. Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum
Al – Ghazali “Mizanul ‘Amal” mengatakan:
“Orang yang mempunyai ilmu itu berada dalam keadaan : mencari faedah dan guna ilmu, mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya – Tanya, memberikan wawasan ilmu dan mengjarkannya. Dan inilah keadaan yang termulia baginya. Jadi, barangsiapa telah mencapai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya dan selanjutnya diajarkan, maka ia adalah laksana matahari yang bersinar dan menyinari lainnya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat mengharumkan dan ia sendiri berbau haram. ”
Adalah menjadi jelas bahwa kemuliaan mengajar adalah mempunyai dua segi kemanfaatan. Pertama bagi orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan itu sendiri akan semakin bertambah pengetahuannya dan mengambil ilmu pengetahuan sebaik – baiknya. Kedua, bagi orang lain yang diberi ilmu pengetahuan, diajar dan dididik akan semakin bertambah pula pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaat ilmu pengetahuan tersebut. Akan tetapi manfaat yang kedua ini, lebih besar dan meluas manfaatnya. Karena bukan hanya bermanfaat untuk seorang pendidik atau pengajar, melainkan untuk masyarakat dan umat manusia seluruhnya.
  1. Alasan yang behubungan dengan unsur yang dikerjakan
Al – Ghazali menyebutkan:
“Seorang guru adalah berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian – bagian (jauhar) tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT.”
Jadi, kesimpulannya, seorang guru adalah orang yang menempati status yang mulia di dataran bumi, ia mendidik jiwa, hati, akal dan roh manusia. Sedangkan jiwa manusia adalah unsur yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk yang lain. Analisis yang deduktif dyang dikemukakan Al – Ghazali tersebut adalah sangat benar dan tepat sekali, karena ia juga mendalami filsafat dan menguasai logika secara cermat dan akurat.
2.      Gaji pengajar (guru) menurut Al – Ghazali
Para pakar fiqh memiliki pendapat yang berbeda – beda mengenai gaji yang diterima guru dari mengajarkan Al – Qur’an. Masing – masing pakar fiqh mempunyai pendapat yang dipedomani mereka. Dan, masalah ini menjadi perdebatan sengit di antara mereka, sebab ia menyangkut soal Al – Qur’an sebagai yang paling suci di kalangan umat Islam.
Berbeda dengan Al – Qobisi, Al – Ghazali berpendapat bahwa:
·        “Al – Qur’an diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru) yang mengajarkannya. Ini adalah alas an agama yang menuntut para guru menunaikan tugas dan kewajibannya (bekerja) di jalan Allah”
·        “Pemimpin – pemimpin kaum muslimin pada masa awal kebangkitan Islam, semuanya memperhatikan kaum muslimin. Tidak kedengaran bahwa mereka mengkhususkan para guru untuk mengajarkan anak – anak mereka di surau – surau (kuttab) dan mengambil harta Allah untuk menggaji guru – guru tersebut”
Berdasarkan pada dua alas an tersebut sehingga Al – Ghazali berkesimpulan mengharamkan gaji. Suatu ketika Al – Ghazali mengatakan:
“Lihatlah kesudahan agama di tangan orang –orang yang megatakan mereka bermaksud mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah) oleh sebab itu mereka memiliki ilmu fiqh dan kalam serta mengajarkan dua ilmu itu dan lain – lainnya lagi. Mereka menghabiskan harta dan pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani sultan – sultan untuk mencari pembagian makanan. Alangkah hinanya seorang alim yang rela menerima kedudukan seperti ini.”
3.      Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al – Ghazali
Dalam “Ihya Ulumuddin”, Al – Ghazali melukiskan betapa penting kepribadian bagi seorang pendidik:
“Seorang guru mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.”
Statement Al – Ghazali tersebut dapat disimak bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian sesesorang pendidik adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena kepribadian seorang pendidik akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi Al – Ghazali sangat menganjurkan agar seorang pendidik mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan pada anak didiknya. Oleh Al – Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan bayang – bayangannya. Bagaimanakah bayang – bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok.
Kemudian Al – Ghazali mengemukakan syarat – syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut:
1)      Sabar menerima masalah – masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2)      Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3)      Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya atau pamer.
4)      Tidak takabbur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya.
5)      Bersikap tawadu’ dalam pertemuan – pertemuan.
6)      Sikap dan pembicaraannya tidak main – main.
7)      Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid – muridnya.
8)      Menyantuni serta tidak membentak – bentak orang – orang bodoh.
9)      Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik – baiknya.
10)  Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak di mengerti.
11)  Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’ kepada kebenaran.
Dari pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang pendidik meliputi berbagai aspek, yaitu:
-         tabiat dan prilaku pendidik
-         minat dan perhatian terhadap proses belajar – mengajar
-         kecakapan dan keterampilan mengajar
-         sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran
Di samping itu, Al – Ghazali menganjurkan kepada para pendidik agar meningkatkan dan membina kepribadiannya dengan cara mendidik dirinya sendiri:
“Dan ia (pendidik) berhati – hati pula mendidik dirinya sendiri dengan membiasakan sedikit makan sedikit berkata – kata dan sedikit tidur serta membanyakkan sembahyang (shalat, berdoa), sedekah dan puasa. Lagi pula dalam kehidupannya mengikuti seorang ahli itu, dijadikannya segala akhlak yang utama, sebagai sabar, syukur, tawakkal, yakni tak keluh kesah (rela dengan apa yang ada), berhati tenang, berlapang dada, rendah hati, tahu diri, berlaku benar, menepati janji, menjadikan pakaian hidupnya.”
4.      Tugas dan kewajiban pendidikan menurut Al – Ghazali
Al – Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya; “Ihya Ulumuddin” dan “Mizan Al ‘Amal” dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Adapun pembahasan dalam bab ini, dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
“Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar – benarnya ‘alim (berilmu, intelektualen). Tetapi tidak pulalah tiap – tiap orang yang ‘alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW, itu.”
Kemudian Al – Ghazali berpendapat:
“Seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terimakasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.”
Jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata – mata. Dan ini dapat dipandang dari dua segi: pertama, sebagai tugas kekhalifahan dari Allah. Kedua, sebagai pelaksanaan ibadah kepada Allah yang mencari keridhaa-Nya dan mendekatkan diri kepadaNya. Demikian itu dimaksudkan untuk memurnikan tugas mendidik dan mengajar itu sendiri, karena jika seorang guru menilai tugas mengajarnya dari segi materi semata dan ia sebagai guru hanya sekadar mencari kekayaan belaka, maka hal ini dipandang akan melunturkan nilai – nilai pendidikan atau bahkan merusak citra dan kemuliaan seorang guru.
  1. Memberikan kasih sayang terhadap anak didik
Al – Ghazali mengatakan:
“Memberikan kasih sayang kepada murid – murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri.”
Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi hubungan psikologis antara guru dan anak didiknya, seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran.
  1. Menjadi teladan bagi anak didik
Al – Ghazali mengatakan:
“Seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataanya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat denagn mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.”
Dari perkataan tersebut jelaslah bahwa seorang guru hendaklah mengerjakan apa yang dilarangnya dan mengamalkan segala ilmu pengetahuan yang diajarkannya, karena tindakan dan perbuatan guru adalah menjadi teladan bagi anak didiknya.
  1. Menghormati kode etik guru
Al – Ghazali mengatakan:
“Seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek – jelakkan mata pelajaran lainnya di hadapan muridnya.”
C.     Faktor Anak Didik
Al – Ghazali mempergunakan istilah anak dengan beberapa kata, seperti al – Shobiy (kanak - kanak), al – Muta’allim (pelajar), dan Tholibul ‘ilmi (penuntut ilmu pengetahuan).
Oleh karena itu istilah anak didik di sini dapat diartikan; anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan objek utama dari pendidikan.
Adapun pembahasannya dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Fitrah menurut Al – Ghazali
Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), sepadan dengan kata “khalaqa”. Jadi fitrah (isim masdar) berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya atau “asal kejadian”. Untuk mendapat pengertian yang jelas tentang fitrah sebagaimana yang dikehendaki Al – Ghazali, maka perlu dikemukakan ayat – ayat Al – Qur’an dan Al – Hadits yang menjadi sumber pemikirannya, besar interprestasinya ataupun perkataan – perkataanya sendiri yang berhubungan dengan hal tersebut.
a.      Ayat Al – Qur’an
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS.30; 30).
Seluruh manusia adalah diciptakan atas dasar iman (Tauhid), semua Nabi yang datang adalah membawa agama Tauhid, oleh karena itu mereka menyeru dengan seruan:
“Katakanlah bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” Sesungguhnya manusia itu tentu mempercayai tentang adanya Tuhan, hanya saja mereka keliru dalam kenyataannya dan dalam sifatnya. (Al – Ghazali, Mizanul ‘Amal).
Demikianlah penafsiran Al – Ghazali tentang ayat diatas, yang menunjukkan bahwa arti fitrah adalah beriman kepada Allah SWT.
b.      Al – Hadits
“Nabi Muhammad SAW telah bersabda: setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya kedua orang tuanya yang menjadikan ia Yahudi, atau nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Mutafaqa’alaih dari Abu Hurairah)
Al – Ghazali memberian komnetarnya sebagai berikut:
“Sesungguhnya seorang anak itu, dengan jauharnya diciptakan Allah dapat menerima kebaikan dan keburukan keduanya. Dan hanya kedua orang tuanya yang dapat menjadikan anak itu cenderung pada salah satu pihak.”
Kemudian Al – Ghazali memberikan komentar lain terhadap Al – Hadits tersebut, dalam kitabnya “Al – Mungiqidz Minadl Dlalal”:
“Karena itu lalu hatiku sangat tertarik untuk menyelidiki apa sesungguhnya fitrah asli dan apa sebenarnya kepercayaan – kepercayaan yang timbul karena taklid kepada orang tua dan guru itu.”
2.      Perkembangan anak didik menurut Al – Ghazali
Al – Ghazali mengatakan:
“Kita semua juga memaklumi bahwa pada permulaanya, tubuh itupun bukannya sekaligus diciptakan oleh Allah dalam keadan sempurna, tetapi kesempurnaan inipun dapat diperolehnya sedikit demi sedikit. Ia dapat menjadi kuat dan kokoh setelah mengalami evolusi pertumbuhan, mendapatkan makanan dan lain – lain lagi. Hal yang demikiani ini tidak berbeda sedikitpun dengan halnya jiwa. Ia mula – mula serba kurang, namun begitu ia dapat menerima hal – hal yang akan menyempurnakannya. Jalan untuk menyempurnakan itu ialah dengan memberiakn didika budi pekerti yang luhur, akhlak yang mulia serta mengisinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat.” (Jamaluddin Al – Qasimi, 1983, 520).
Jadi jelaslah bahwa, unsure kehidupan ada dalam dir manusia dan diperlengkapinya dengan fitrah maka manusia itu mengalami perkembangan dan perubahan – perubahan dalam dua aspek. Pertama; aspek fisik, aspek fisik yang memiliki potensi – potensi dan kemampuan – kemampuan tenaga fisik yang bila benar dan baik pengembangannya, maka akan menjadi kecakapan dan keterampilan kerja untuk memanfaatkan karunia Allah di bumi dan dilangit ini, sebagai sarana untuk beribadah kepadaNya (Pengabdian pada Maha Pencipta). Kedua, aspek psikis yang mengandung potensi – potensi yang tidak terhitung jumlahnya, yang bila benar dan baik pendidikan maupun pengembangannya, maka akan terbentuklah manusia yang berpikir ilmiyah, dan bersikap ilmiyah dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki, demikian pula akan terbentuk manusia yang berakhlak mulia, berkepribadian kuat dan bertakwa kepada Allah SWT.
Adapun Al – Ghazali membagi tingkatan – tingkatan perkembangan manusia, yakni:
1)      Al – Janin, yaitu tingkat anak yang berada dalam kandungan.
2)      Al – Thifli, yaitu tingkat anak – anak dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan sehingga mengetahui baik ataupun buruk.
3)      Al – Tamziz, yaitu tingkat anak yang telah dapat membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk, bahkan akal pikirannya telah berkembang sedemikian rupa, sehingga telah dapat memahami ilmu naluri.
4)      Al ‘Aqil, yaitu tingkat manusia yang telah berakal sempurna bahkan akal pikirannya telah berkembang secara maksimal sehingga telah menguasai ilmu naluri.
5)      Al – Auliya’ dan Al - Anbiya, yaitu tingkat tertinggi pada perkembangan manusia.
3.      Etika anak didik terhadap pendidik menurut Al – Ghazali
Al – Ghazali menjelaskan etika anak didik terhadap pendidik ini secara terinci dalam kitabnya “Bidayatul Hidayah”, yang meliputi 13 aturan, yaitu:
  1. Jika berkunjung kepada guru harus hormat dan menyampaikan selam terlebih dahulu
  2. Jangan banyak bicara jika diajak bicara oleh guru
  3. Jangan bertanya jika belum minta izin lebih dahulu
  4. Jangan sekali – kali menegur ucapan guru
  5. Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru
  6. Jangan mengisyaratkan terhadap guru, yang dapat memberi perasaan khilaf dengan pendapat guru
  7. Jangan berunding dengan temanmu di tempat duduknya, atau berbicara dengan guru sambil tertawa
  8. Jika duduk di hadapan guru jangan menoleh – noleh tapi duduklah dengan menundukkan kepala dan tawadlu’ sebagaimana ketika melakukan shalat
  9. Jangan banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang enak
  10. Sewaktu guru berdiri, murid harus berdiri sambil memberikan penghormatan kepada guru
  11. Sewaktu guru sedang berdiri dan sudah akan pergi, jangan sampai dihentikan cuma perlu bertanya
  12. Jangan sekali – kali bertanya sesuatu kepada guru di tengah jalan, tapi sabarlah nanti setelah sampai di rumah.
  13. Jangan sekali – kali berburuk sangka terhadap guru mengenai tindakannya yang kelihatannya mungkar atau tidak di ridhai Allah menurut pendangan murid.
Pandangan AL – Ghazali tersebut apabila dilaksanakan sebaik – baiknya, maka akan terwujudlah norma – norma dan nilai yang positif yang akan mempengaruhi keberhasilan di dalam proses pendidikan dan pengajaran, yaitu antara lain:
-         Memperhatikan kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan guru, sehingga hubungan antara guru dan murid dapat berjalan secara harmonis.
-         Memperhatikan konsentrasi dan suasana belajar di dalam kelas.
-         Sopan santun dan tata krama dalam pergaulan sehari – hari.
4.      Tugas dan kewajiban para pelajar
Al – Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban para pelajar pada bagian khusus dari kitabnya “Ihya Ulumuddin” dan “Mizanul ‘Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Adapun pembahasan bab ini, diuraikan sebagai berikut:
  1. Mendahului kesucian jiwa
Al – Ghazali mengatakan:
“Mendahulukan kesucian jiwa dari kerendahan akhlak dan dari sifat – sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan adalah merupakan kebaktian hati, shalatnya jiwa dan mendekatkan batin kepada Allah Ta’ala.” (Al – Ghazali, Ihya Ulumuddin).
Belajar dan mengajar adalah sama dengan ibadah shalat, sehingga shalat tidak sah kecuali dengan menghilangkan hadas dan najis, maka demikian pula hal mencari ilmu, mula – mula harus menghilangkan sifat – sifat tercela seperti: dengki, takabbur, menipu dan sebagainya. Namun apabila ada pelajar yang budi perkertinya buruk dan hina tapi memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia hanya memperolehnya padakulit dan lahirnya saja, bukan isi dan hakikatnya sehingga tidak bermanfaat bagi dirinya dan lainnya. Jadi tidak membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  1. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
Al – Ghazali mengatakan:
“Seorang pelajar seharusnya mengurangi hubungannya dengan kesibukan – kesibukan duniawi dan menjauhkan diri dari keluarga dan tanah kelahirannya. Karena segala hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan hati pada yang lain.”
Jadi maksudnya adalah untuk mencurahkan segala tenaga, jiwa raga dan pikirannya agar dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada ilmu pengetahuan. Oleh karena pikiran dan jiwa yang dibagi – bagi tidak akan memiliki kesanggupan yang maksimal untuk mengetahui hakikat kebenaran suatu ilmu pengetahuan.
  1. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya
Al – Ghazali menyatakan:
“Seorang pelajar seharusnya jangan menyombongkan diri dengan ilmu pengetahuannya dan jangan menentang gurunya. Akan tetapi patuhlah terhadap pendapat dan nasihat seluruhnya, seperti patuhnya orang sakit yang bodoh kepada dokternya yang ahli dan berpengalaman.”
Yang dimaksud guru tersebut adalah seorang guru yang mempunyai keahlian yang tinggi dan pengalaman yang luas, telah menyelidiki dengan teliit keadaan pelajar itu sehingga mengetahui kelemahan dan penyakitnya, setelah itu baru memberiakn nasihat, petunjuk dan pengobatan pada anak didik.
  1. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Al – Ghazali mengatakan:
“Seorang pelajar seharusnya mengetahui sebab diketahuinya kedudukan ilmu pengetahuan yang paling mulia. Hal ini dapat diketahui denan dua sebab: pertama, kemuliaan hasilnya, Kedua, kepercayaan dan kekuatan dalilnya.”
Jadi seorang pelajar harus mendahulukan ilmu pengetahuan yang paling pokok dan mulia, kemudian ilmu pengetahuan  yang penting, lalu ilmu pengetahuan sebagai pelengkap dan seterusnya, karena ilmu pengetahuan yang satu dengan lainnya erat sekali dan saling membantu.











DAFTAR PUSTAKA
·        Abu Hamid Al – Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin Juz I-III, (Kairo: Isal Babiyul Hilbi wa Syirkah), 1957.
·        ----------------, Al – Munqidzu Minald Dlalal; Pembebasan dari Kesesatan, Terj. Abdullah Bin Nuh, (Jakarta: Tintamas) 1966.
  • ----------------, Mizanul ‘Amal, (Kairo: Darul Ma’arif), 1967.
  • ----------------, O Anak!, M. Zain Djambek, (Jakarta: Tintamas), 1983.
  • A. Hanafi, Ma, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1976
·        Jamaluddin Al – Qayimi, Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mukmin, Ringkasan dari Ihya Ulumuddin, Terj. Moh. Abdai Rathomy, (Bandung: CV. Diponegoro), 1983
·        Al – ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddi Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam, Terj. Irawan Kurniawan, (Bandung: PT Mizan Pustaka) 1429 H/ 2008.
  • Dahlan, Abdul Aziz, Pemikir Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Djambatan)
·        Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan Al – Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara), 1991.
·        Sulaiman, Fathiyyah Hasan, Alam Pikiran Al – Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu, (Bandung: CV. Diponegoro) Cet I, 1406 H – 1986.


[1] A. Hanafi M.A., Filsafat Islam, Bulan Bintang, 1976, hal. 197

kedudukan kurikulum dalam proses pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara umum kurikulum dipandang sebagai seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan. Dibawah bimbingan sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum bukan hanya berbentuk kegiatan formal tapi mencakup intra kurikuler, ko kurikuler, dan ekstra kurikuler.
Kurikulum didalam menjalankan proses belajar – mengajar merupakan hal atau terletak dalam kedudukan yang penting sekali. Karena tanpa adanya kurikulum proses belajar mengajar akan tidak terlaksana secara efektif, efesien dan inovatif serta akan sulit untuk menjalankannya. Karena patokan – patokan yang telah dikemas dalam kurikulum telah diatur oleh para ahli, supaya program – program yang ada di dalam sekolah akan terproses secara maksimal dan kodusif.
Sebagaimana yang akan kami bahas dalam makalah ini, yang mana kurikulum itu berfungsi atau berperan dalam pendidikan.















BAB II
PEMBAHASAN
KEDUDUKAN KURIKULUM DALAM PROSES PENDIDIKAN
A. Pengertian Kurikulum
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), perlu dikemukakan terlebih dahulu tentang, apa itu kurikulum. Kata "kurikulum" berasal dan bahasa Yunani yang semula digunakan dalarn bidang olah raga, yaitu curere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga finish. Pengertian ini kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Arab. istilah "kurikulum" diartikan dengan Manhaj, yakni jalan terang, atau jalan terang yang dilalui oleh pendidik/ guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai  (H.Muhaimin, 2005:1). Selanjutnva- al­Khauly (1981:13) menjelaskan bahwa al-Manhaj sebagai seperangkat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang dinginkan.
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ilmuan dalam mengartikan kurikulum. Masing-masing ilmuan memandang kurikulum menurut pandangannya sesuai dengan Latar belakang keilmuan mereka. Walaupun demikian dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik benang merah. bahwa di satu pihak ada yang, menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah dan di lain pihak lebih menekankan pada proses atau pengalaman belajar.
Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah di sekolah atau perguruan tinggi yang harus ditempuh uniuk mencapai suatu ijazah atau tingkat, juga keseluruhan pelajaran yang, disajikan oleh suatu lembaga pendidikan (Nasution, 1982:3). Atau menurut al – Syaibany (1979:11) terbatas pada pengetahuan – pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah atau institusi pendidikan lainnya dalam bentuk mata pelajaran - mata pelaiaran atau kitab – kitab  karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh para peserta dalam tiap tahap pendidikannya. Definisi yang dikemukakan oleh Kemp Morrison dan Ross dalam H. Muhaimin (2005:2) menekankan pada isi mata pelajaran dan keterampilan – keterampilan yang termuat dalam suatu program pendidikan.
Definisi yang dikemukakan oleh Kamil & Sarhan (1968:13) menekankan pada sejumlah pengalaman pendidikan, budava, sosial, olahraga, dan seni, yang disediakan oleh sekolah bagi para peserta didik di dalam dan di luar sekolah, dengan maksud mendorong mereka untuk berkembang menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan, yang ditetapkan. Perubahan penekanan pada pengalaman ini lebih jelas dikemukakan oleh Ronald C. Doll (1974:22):
"The commonly accepted definition of the curriculum has changed, front content of courses of study and list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school .........
Definisi Doll, tidak hanya menunjukkan adanya perubahan penekanan dari isi kepada proses, tetapi juga menujukkan adanya perubahan lingkup dari konsep yang sangat sempit kepada konsep yang sangat luas. Apa yang dimaksud dengan pengalaman siswa yang diarahkan atau menjadi tanggung jawab sekolah mengandung makna yang cukup luas. Pengalaman tersebut dapat berlangsung di sekolah, di rumah ataupun di masyarakat, bersama guru atau tanpa guru, berkenaan langsung dengan pelajaran ataupun tidak. Definisi tersebut juga mancakup berbagai upaya guru dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta berbagai fasilitas yang mendukungnya.
Definisi yang senada disampaikan oleh Saylor dan Alexander dalam Muhaimin (2005:3) bahwa kurikulum adalah segala usaha sekolah/ perguruan tinggi yang bisa menghasilkan atau menimbulkan hasil - hasil belajar yang dikehendaki, apakah di dalam situasi-situasi sekolah/ perguruan tinggi ataupun di luar lokasi sekolah/ perguruan tinggi.
Mauritz Johnson (1967:130.) mengajukan keberatan terhadap apa yang kemukakan oleh Doll tentang konsep kurikulum. Menurut Johnson, pengalaman hanya akan muncul apabila terjadi interaksi antara siswa dengan lingkungannya. Interaksi seperti itu bukan kurikulum, tetapi pengajaran. Kurikulum hanva menggambarkan atau mengantisipasi hasil dari pelajaran. Johnson membedakan dengan tegas antara kurikulum dengan pengajaran. Semua yang berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan, seperti perencanaan isi, kegiatan belajar mengajar, evaluasi, termasuk pengaiaran. sedangkan kurikulum hanya berkenaan dengan hasil – ­hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa. Menurut Johnson, kurikulum adalah ………a structured series of intended learning outcomes (Johnson, 1967:130).
Terlepas dari pro dan kontra terhadap pendapat Johnson, beberapa ahli memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Salah seorang diantara mereka adalah Mc.Donald (1965:3). Menurut dia, sistem persekolahan terbentuk atas empat sub sistem, yaitu mengajar, belajar. pembelajaran, dan kurikulum. Mengajar (teaching) merupakan kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru. Belajar (learning) merupakan kegiatan atau upaya yang dilakukan siswa sebagai respon terhadap kegiatan mengajar yang diberikan oleh guru. Keseluruhan pertautan kegiatan yang memungkinkan dan berkenaan dengan terjadinya interaksi belajar – mengajar disebut pembelajaran (instruction). Kurikulum (curriculum) merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana (curriculum plan) dengan kurikulum yang fungsional (functioning curriculum). Menurut Beauchamp (1968:6) "A curriculum is written document which may contain many ingredients. but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school" . Beauchamp lebih memberikan tekanan bahwa kurikulum adalah suatu pendidikan atau pengajaran. Pelaksanaan rencana itu sudah termasuk pengajaran.
Masing – masing definisi dengan penekanannya tersebut akan mempunyai implikasi tertentu dalam pengembangan kurikulum. Kunikulum menekankan pada isi bertolak dari asumsi bahwa masyarakat bersifat statis, sedangkan pendidikan berfungsi memelihara dan mewariskan pengetahuan, konsep-konsep dan nilai-nilai yang telah ada baik Ilahi maupun nilai Insani.. Karena itu. kurikulum biasanya ditentukan oleh sekelompok orang ahli, disusun secara sistematis dan logis sesuai dengan disiplin ilmu atau sistemisasi ilmu yang dianggap telah mapan tanpa melibatkan guru/ dosen apalagi peserta didik/ mahasiswa. Fungsi guru dan dosen adalah sebagai pengajar atau pelaksana dalam pembelajaran baik dalam hal isi, metode. maupun evaluasi. Guru/dosen berperan sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan ahli dalam disiplin ilmu. Peran peserta didik/ mahasiswa bersifat pasif sebagai penerima informasi dan tugas – tugas dari guru/ dosen. Sedangkan kurikulum yang menekankan pada proses atau pengalaman. Bertolak dari asumsi bahwa peserta didik sejak lahirkan telah memiliki potensi – potensi, baik potensi untuk berpikir, berbuat, memecahkan masalah maupun untuk belajar dan berkembang sendiri. Fungsi pendidikan adalah menciptakan situasi atau lingkungan yang menunjang perkembangan potensi – potensi  tersebut. Karena itu kurikulum dikembangkan dengan bertolak pada kebutuhan dan minat peserta didik. Materi ajar dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Peserta didik menjadi subjek pendidikan dalam arti ia menduduki tempat utama dalarn proses pendidikan. Guru/dosen berfungsi sebagai psikolog yang memahami segala kebutuhan dan masalah peserta didik. la berperan sebagai bidan yang membantu peserta didik melahirkan ide-idenya dan sebagai pembimbing, pendorong fasilitator dan pelayan bagi peserta didik.
Pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru/ dosen dengan melibatkan peserta didik. Tidak ada kurikulum standart, yang ada hanyalah kurikulum minimal yang dalam implementasinya dikembangkan bersama peserta didik. Isi dan proses pembelajarannya selalu berubah sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik.
Dari kedua pihak, yakni pihak yang menekankan isi dan yang menekankan proses dan pengalaman tersebut, muncul pihak ketiga yang berusaha memadukan kedua – duanya dalam arti kata ia menekankan pada isi maupun proses pendidikan atau pengalaman belajar sekaligus. Pihak ini berasumsi bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama, berinteraksi dan bekejasama. Melalui kehidupan bersama dan keria sarna itulah manusia hidup, berkembang, dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Tugas pendidikan terutama membantu agar peserta didik menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan dan pengembangan masyarakatnya.
Isi pendidikan terdiri atas problem - problem aktual yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat. Proses pendidikan atau pengalaman belajar peserta didik berbentuk kegiatan – kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan kerjasama, baik antar peserta didik dan guru/dosen dengan sumber – sumber belajar lainnya. Karena itu, dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari problema – problema yang dihadapi dalam masyarakat sebagai isi pendidikan. sedangkan proses atau pengalaman belajar peserta didik adalah dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan kolaboratif, berusaha mencari pemecahan terhadap problema tersebut menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Adapun kegiatan penilaian dilakukan untuk hasil maupun proses belajar. Guru/ dosen melakukan kegiatan penilaian sepanjang kegiatan belajar.
Jika ketiga pihak tersebut di atas ditelusuri dari segi landasan filosofisnya. Maka konsep pengembangan kurikulum dari pihak pertama terutama penganut aliran perennialisme dan essrensialisme. Pihak kedua termasuk dalam progressivisme dan eksistensialisme. Sedangkan pihak ketiga termasuk dalam rekonstruksi sosial (Muhaimin, 2005:5).
B. Pendidikan Agama Islam
Banyak orang merancungkan pengertian istilah “pendidikan agama Islam” dan “pendidikan islam” Kedua istilah itu dianggap sama, sehingga ketika seseorang berbicara tentang pendidikan Islam ternyata isinya terbatas kepada pendidikan agama Islam, atau sebaliknya ketika seseorang berbicara tentang pendidikan agama Islam justru yang dibahas didalamnya adalah pendidikan Islam. Padahal kedua istilah tersebut memiliki, substansi yang berbeda.
Tafsir (2004) membedakan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan Islam. PAI dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan "agama Islam", karena yang diajarkan adalah agama Islam, bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Kata "pendidikan" ini ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini, PAI sekategori atau sejajar dengan pendidikan matematika (nama pelajarannya adalah matematika), pendidikan olah raga (nama pelajaranya adalah olah raga), dan seterusnya. Sedangkan pedidikan Islam adalah nama sistem , yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki kornponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan AI-Quran dan Hadist.
Menurut Muhaimin (2003), bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam. Istilah "Pendidikan Islam" dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yaitu :
  1. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam, dan/atau sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai – nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al-Qur'an dan al-sunnah/hadits. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber – sumber dasar tersebut.
Dalam realitasnya pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari kedua sumber dasar tersebut terdapat, beberapa perspektif, yaitu : (1) pemikiran, teori, dan praktik penyelenggaraannya rnelepaskan diri dan/atau kuranor mempertimbangkan situasi konkret dinamika pergumulan masyarakat Muslim(era klasik dan kontemporer) yang mengitarinya; (2) pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraanya hanya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual ulama klasik; (3) pemikiran. teori dan praktek penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio-historis dan kultural masyarakat kotemporer, dan melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman serta khazanah intelektual ulama klasik; (4) pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati situasi sosio-historis dan kultural masyarakat kontemporer.
  1. Pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini, dapat berwujud : (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam keterampilan hidupnya sehari-hari; (2) segenap fenomena atau peristiwa. Perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/ atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
  2. Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan ummatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran, maupun sistem budaya dan peradaban, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sampai sekarang. Jadi dalam pengertian yang ketiga ini istilah "pendidikan islam " dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.
Sungguhpun demikian dari beberapa definisi tersebut intinva dapat dirumuskan sebagai berikut : Pendidikan Islam merupakan sistem Pendidikan yang diselenggarakan  atau didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai – nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Kata niat mengandung pengertian suatu  usaha yang direncanakan dengan sungguh-sungguh yang muncul dari hati yang bersih dan suci karena mengharap ridha - Nya, bukan karena interes-interes yang lain. Niat tersebut ditindaklanjuti dengan mujahadah, yakni berusaha dengan sungguh – sungguh untuk mewujudkan niat serta berusaha melakukan kebaikan atau konsisten dengan sesuatu yang direcanakan. Kemudian dilakukan muhasabah, yakni melakukan kontrol dan evaluasi terhadap rencana yang telah dilakukan. Jika berhasil dan konsisten dengan niat atau recana semula, maka hendaklah besyukur, serta berniat lagi untuk melaksanakan rencana-rencana berikutnya. Sebaliknya, jika gagal atau kurang konsisten dengan rencana semula, maka ia segera beristighfar atau bertaubat kepada-Nya sambil memohon pertolongan kepada-Nya agar diberi kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan niat atau rencananya tersebut.
Dalam konteks kajian atau penelitian utuk mengembangkan pendidikan Islam tersebut, Azra (1999) mengemukakan bahwa pola kajian kependidikan Islam di Indonesia sebagaimana terdapat dalam beberapa literatur yang tersedia, selama ini lebih banyak terfokus pada tiga kategori, yaitu : (1) kajian-kajian sosio-historis pendidikan Islam. Kajian itu terkait dengan pengertian pendidikan Islam yang ketiga (2) kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam. Ini terkait dengan pengertian pendidikan Islam yang pertama; dan (3) kajian metodologis pendidikan Islam. Ini banyak terkait dengan pengertian pendidikan Islam dalam perspektif yang kedua. Dan pegertian inilah yang menurut Tafsir (2004) disebut sebagai pedidikan agama Islam, sebagaimana uraian di atas.
Jika ditilik dari aspek program dan praktik penyelenggaraanya, setidak- tidaknya pendidikan Islam dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis, yaitu (1) pendidikan Pondok Pesatren dan Madrasah Diniyah, yang menurut UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan disebut sebagai pendidikan pendidikan madrasah, yang saat ini disebut sebagai sekolah umum yang berciri khas agarna Islam dan pendidikan lanjutannva seperti IAIN/STAIN atau Universitas Negeri yang bernaung di bawah Departemen Agama; (3) pendidikan umum rang bernafaskan Islam. yang diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan  yayasan dan organisasi Islam: (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja; (5) Pendidikan Agama Islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau di forum – forum  kajian keislaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnva yang sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat. Jenis yang kelima ini termasuk pendidikan keagamaan (Islam) formal dan informal. (Muhaimin, 2005:10).
C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)
Sebelum mengkaji tentang pengembangan kurikulum Pendidikan Agama islam (PAI). Maka penulis akan terlebih dahulu menguraikan tentang arti pengembangan kurikulum secara umum, berdasarkan kajian pendapat para ilmuan.
Pengembangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dari pada program pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukanlah semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pengembangan kurikulum juga menyangkut banyak faktor, mempertimbangkan, isu-isu mengenai kurikulum. siapa yang dilibatkan, bagaimana prosesnya, apa tujuannya, kepada siapa kurikulum itu ditujukan.
Caswell dalam Subandijah (1986:38) mengartikan pengembangan kurikulum sebagai alat untuk membantu guru dalam melakukan tugas mengajarkan bahan. Menarik minat murid dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara Beane, Toepfer, dan Allessi (1986:56) menyatakan perencanaan ataupun pengembangan kurikulum adalah suatu proses di mana partisipan pada berbagai level membuat keputusan tentang tujuan, tentang bagaimana tujuan direalisasi, melalui belajar, apakah tujuan dan alat itu serasi dan efektif.
Mohammad Ali (1984:t-2-13) menegaskan bahwa pengembangan kurikulum memiliki dua maksud, yaitu : (a) penyusunan dan perencanaan suatu kurikulum. (b) penjabaran kurikulum resmi ke dalam pengembangan program belajar mengajar (kurikulum aktual). Selanjutnya, la menambahkan bahwa dalam pengembangan kurikulum haruslah seorang guru berpijak pada landasan yang kokoh. Landasan itu. Setidak – tidaknya berdasarkan criteria sebagai berikut:
a)      Arah kurikulum itu sendiri dilandaskan kepada sesuatu yang diyakini sebagai suatu kebenaran atau kebaikan.
b)      Isi kurikulum sesuai dengan tuntutan masyarakat yang bersifat dinamis sebagai pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi.
c)      Proses belajar mengajar memperhatikan prinsip psikologis, baik teori tentang belajar maupun perkembangan hidividu.
Subandijah (1986:36) mengartikan pengembangan kurikulum sebagai proses, yang mengaitkan satu komponen kurikulum dengan komponen lainnya untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik. Pada umumnya para ahli kurikulum  memandang bahwa pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang berkelanjutan, merupakan suatu siklus meliputi komponen tujuan, bahan, kegiatan dan evaluasi.
Dari beberapa pendapat tentang arti pengembangan kurikulum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang berlaku sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang lebih baik. Dengan kata lain, pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Apabila pengembangan kurikulum yang diartikan secara umum tersebut dikaitkan dengan pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), maka Muhaimin (2005:10) menegaskan bahwa pengembangan kurikulum PAI adalah sebagai : (1) kegiatan menghasilkan kurikulum PAI atau (2) proses yang mengaitkan satu komponen dengan komponen yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih balk; dan/atau (3) kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum PAI tersebut ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigma walaupun dalam, beberapa hal tertentu paradigma sebelumnya masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Hal ini dapat dicermati dari fenomena-fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan pada daya hafalan dan daya ingatan tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama Islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari Timur Tengah, kepada pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama Islam untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI; (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berpikir histories, empiris, dan konteksual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam; (3) perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pernikiran keagamaan Islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologisnya sehingga menghasilkan produk tersebut; dan (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum PAI ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasi tujuan PAI dan cara-cara mencapainya. (Muhaimin, 2005:11).
D. Fungsi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)
  1. Bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan :
a)      Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang diinginkan atau dalam istilah KBK disebut standar kompetensi PAI meliputi fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi tamatan/ lulusan, kompetensi bahan kajian PAI kompetensi rnata pelajaran PAI (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA). kompetensi mata pelajaran kelas (Kelas 1. II, III, IV, V. VI, VII, VIII, IX, X. XII).
b)      Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah.
  1. Bagi sekolah/madrasah di atasnya:
a)      Melakukan penyesuaian
b)      Menghindari keterulangan sehingga boros waktu
c)      Menjaga kesinambungan
  1. Bagi masyarakat:
a)      Masyarakat sebagai pengguna lulusan (users), sehingga sekolah/madrasah harus mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam konteks pengembangan PAI.
b)      Adanya kerja sama yang harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum  PAI. (Muhaimin, 2005:12)
E. Peranan Kurikulum dalam Mencapai Tujuan Pendidikan
Salah satu pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas menyebutkan bahwa kurikulum merupakan segala kegiatan yang harus dilakukan siswa dan sarana untuk memperoleh pengalaman pendidikan. Siswa yang menempuh dan telah menguasai materi kurikulum, berhak menerima ijazah. Hal ini berarti bahwa, kurikulum merupakan salah satu input instrumental, merupakan sarana terwujudnya proses kegiatan pendidikan, dan berarti pula sarana tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan itu sendiri telah secara jelas dirumuskan dan dicantumkan dalam kurikulum, baik tujuan pendidikan. nasional (yang secara jelas mencerminkan ide-ide filsafat negara), institusional, kurikuler, maupun instruksional.
Hubungan antara pendidikan dengan kurikulum adalah hubungan antara tujuan dan isi pendidikan. Suatu tujuan baru akan tercapai bila isi pendidikan tepat dan relevan, dengan tujuan tersebut. Hal itu dapat diartikan bahwa tujuan menentukan segala hasil yang hendak dicapai tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
  1. Pengertian
Saylor dan Alexander dalam Muhaimin (2005:3) menyatakan bahwa kurikulum adalah segala usaha sekolah/ perguruan tinggi yang bisa menghasilkan atau menimbulkan hasil - hasil belajar yang dikehendaki, apakah di dalam situasi-situasi sekolah/ perguruan tinggi ataupun di luar lokasi sekolah/ perguruan tinggi.
B.     Pendidikan Agama Islam
Tafsir (2004) membedakan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan Islam. Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam ialah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan AI-Quran dan Hadist.
Menurut Muhaimin (2003), bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam. Istilah "Pendidikan Islam" dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yaitu :
    1. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam, dan/atau sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai – nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al-Qur'an dan al-sunnah/hadits.
    2. Pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang.
    3. Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Jadi dalam pengertian yang ketiga ini istilah "pendidikan islam " dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.
Sungguhpun demikian dari beberapa definisi tersebut intinva dapat dirumuskan sebagai berikut : Pendidikan Islam merupakan sistem Pendidikan yang diselenggarakan  atau didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai – nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya
C.     Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pengembangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dari pada program pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukanlah semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pengembangan kurikulum juga menyangkut banyak faktor, mempertimbangkan, isu-isu mengenai kurikulum. siapa yang dilibatkan, bagaimana prosesnya, apa tujuannya, kepada siapa kurikulum itu ditujukan.
Caswell dalam Subandijah (1986:38) mengartikan pengembangan kurikulum sebagai alat untuk membantu guru dalam melakukan tugas mengajarkan bahan. Menarik minat murid dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Mohammad Ali (1984:t-2-13) menegaskan bahwa pengembangan kurikulum memiliki dua maksud, yaitu : (a) penyusunan dan perencanaan suatu kurikulum. (b) penjabaran kurikulum resmi ke dalam pengembangan program belajar mengajar (kurikulum aktual). Selanjutnya, la menambahkan bahwa dalam pengembangan kurikulum haruslah seorang guru berpijak pada landasan yang kokoh. Landasan itu. Setidak – tidaknya berdasarkan criteria sebagai berikut:
a)      Arah kurikulum itu sendiri dilandaskan kepada sesuatu yang diyakini sebagai suatu kebenaran atau kebaikan.
b)      Isi kurikulum sesuai dengan tuntutan masyarakat yang bersifat dinamis sebagai pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi.
c)      Proses belajar mengajar memperhatikan prinsip psikologis, baik teori tentang belajar maupun perkembangan hidividu.


D.     Fungsi
1.      Bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan
2.      Bagi masyarakat
E. Peranan Kurikulum dalam Mencapai Tujuan Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dengan kurikulum adalah hubungan antara tujuan dan isi pendidikan. Suatu tujuan baru akan tercapai bila isi pendidikan tepat dan relevan, dengan tujuan tersebut. Hal itu dapat diartikan bahwa tujuan menentukan segala hasil yang hendak dicapai tersebut.
  1. Saran
Kedudukan kurikulum dalam pendidikan merupakan salah satu yang terpenting dalam system pendidikan, dengan adanya kurikulum, maka segala program yang akan dijalankan dapat dilaksanakan dengan semaksimal mungkin. Dan menghindari kendala – kendala yang mungkin terjadi dalam proses pembelajaran yang sedang terjadi. Namun dengan adanya kurikulum semua itu akan terkontrol dengan adanya kurikulum.
Kemudian agar terlaksananya kurikulum yang baik dan benar maka seorang kepala sekolah harus mampu memahami dan mengetahui bagaimana proses yang akan dijalani agar kurikulum itu dapat berjalan lancar. Setelah itu barulah seorang kepala sekolah dapat melatihkan kepada guru – guru yang belum mengetahui bagaimana sebenarnya kurikulum itu dijalankan. Dan akhirnya akan membuahkan hasil yang lebih bermanfaat atau akan memberikan hasil yang memuaskan.










DAFTAR PUSTAKA

v     Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 2009.
v     Nasution, S, Asas – Asas Kurikulum, (Jakarta : Bumi Akssara) 1995
v     Tafsir, Ahmad Ed, Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Fak – Tar IAIN, Sunan Gunung Djati, 1995
v     Soebandijah, Umar Muhammad al – Toumy, Al – Fikr at – Tarbawi Bani an – Nazariyah wa at – Tatbiq, Al – Nasy’ah al – ‘Immah li an – Nasyr wa at – Tauzy wa at – I’lan, Libya, 1985
v     Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Mordenisasi Menuju Millenium Baru, logos, Jakarta, 1999
v     Beauchamp, George A, Curriculum Theory, Wilmette, Illions: The KAGG Press, 1975
v     Doll, Ronald C, Curriculum Improvement, Division Making and Process, Boston: Allyin & Bacon, Inc 1974
v     Jhonson, Malritz, Intentonality in Education, New York: Center for Curriculum Research and Service, 1977
v     Al – Khauly, Muhammad Ali, Qamus al – Tarbiyah: Injilizy – Araby, Dar al ‘Ilmi li Al – Malayin, Beirut Libanon, 1981.
v     Ali, Mohammad, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung, 1987