Selasa, 21 Desember 2010

pemikiran al ghazali


BAB I
PENDAHULUAN
            Sesungguhnya, Al – Ghazali seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan. Pengalamanya sebagai Maha Guru di madrasah Nizhamiyah kemudian menjadi Rektor Universitas Nizhamiyah di Baghdad, dan bertahun – tahun ia mendidik dan mengajar, memberikan kuliah yang karenanya ia begitu cerdas dan ahli pikir ulung, ia ikut pula memikirkan soal – soal pendidikan, pengajaran dan metode – metodenya.
            Al – Ghazali malahan memiliki keistimewaan tentang teori pendidikan yang dimajukannya, yakni penyatupaduan kepentingan jasmani, akal dan rohani, ilmiah dan jiwa agama. Sayang, berbagai pandangan dan teori pendidikan Al – Ghazali yang luas itu tidak terhimpun dalam suatu karya/ kitab khusus, tetapi tersebar dalam berbagai kitabnya yang membahas banyak garapan. Hampir setiap kitab yang dihasilkannya tidak ada yang di spesifikasikan untuk pembahasan pendidikan, namun hampir di setiap produk karyanya selalu menyentuh aspek pendidikan.
            Dalam makalah ini, penulis mencoba menghadirkan sajian pemikiran Al – Ghazali di bidang pendidikan yang meskipun pembahasannya tidak dapat memberikan kepuasan sidang pembaca, tetapi minimal dapat menggugah pembaca untuk mengakui dan  menyadari bahwa pemikiran dan teori Al – Ghazali itu ada, banyak dan patut disimak oleh sebab masih up to date dan aktual untuk memenuhi konsumsi dunia pendidikan dewasa ini. Bahkan jika kita secara jujur, maka akan menemukan banyak pemikiran maupun teori pendidikan yang banyak dihadirkan oleh sarjana merupakan suatu adopsi malah plagiat tanpa izin atas pemikir dan teori pendidikan Al – Ghazali.
            Dalam makalah ini penulis majukan satu pokok persoalan yang kemudian menjadi pijakan pembahasan; pemikiran Al – Ghazali mengenai ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan faktor – faktor pendidikan sebagai unifikasi, dan pemikirannya mengenai pendidikan kaitannya dengan konsep manusia utuh/ kamil sebagai sasaran pendidikan.
            Dan semoga makalah ini dapat berguna bagi sidang pembaca, dalam mengetahui faktor – faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam proses belajar dan mengajar.
BAB II
BIOGRAFI AL – GHAZALI
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin muhammad bin muhammad, mendapat gelar Imam besar Abu Hamid Al – Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M, di suatu kampung Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia keturunan persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja – raja saljuk yang memerintah daerah khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka.
Sejak kecil, Al – Ghazali telah menggemari ilmu pengetahuan (ma’rifat). Ia cenderung kepada pendalaman masalah yang haqiqi (esensial), meskipun dalam hal ini dia terpaksa harus menempuh kepayahan dan kesulitan. Dia berkata mengenai dirinya sendiri:
“Kehausan untuk menggali hakikat segala perkara telah menjadi kebiasaanku semenjak aku muda belia. Tabi’at dan fitrah yang diletakkan oleh Allah SWT dalam kejadianku bukan karena ikhtiar dan usahaku……”. (Al - Munqidz).
Pada masa kecilnya, al – Ghazali pernah mengenyam ilmu dari Ahmad bin Muhammad ar – Radzkani di Khurasan. Kemudian dia berguru kepada Abu Nashr al – Isma’ili di Jurjan. Selain itu dia kembali lagi ke Khurasan.
Diriwayatkan, bahwa ditengah perjalanan menuju Khurasan, dia bersama – sama kawan – kawannya dihadang segerombolan penyamun. Para penyamun itu merampas semua harta dan perbekalan mereka, tak ketinggalan merampas karung milik Al – Ghazali yang berisi buku – buku kebanggaanya yang mengandung hikmah dan ma’rifat. Al – Ghazali meratap dan memohon kepada mereka agar karung itu dikembalikan kepadanya, karena ia sangat ingin untuk mendalami ilmu – ilmu yang ada di dalam buku – buku itu. Para penyamun pun merasa iba kepadanya, lalu mengembalikan buku – buku itu kepadanya.
Diriwayatkan pula bahwa setelah peristiwa itu ia giat mempelajari buku – bukunya. Dia menelaah dan menghafal berbagai ilmu yang ada di dalamnya, sampai ia merasa aman bahwa ilmu – ilmu itu tidak akan hilang.
Kemudian al – Ghazali bermukim di Nasaibur. Disana ia berguru kepada salah seorang pemuka agama masa itu, yaitu Al – Juwaini, Imamul Haramain, yang wafat pada tahun 478 H/ 1085 M. Dari al – Juwaini, dia menerima ilmu Kalam, ilmu Ushul dan ilmu agama yang lainnya.
Al – Ghazali menampakkan kecerdasan dan kemampuannya yang mengagumkan dalam berdebat. Sehingga Imam al – Juwaini menjulukinya dengan sebutan Bahrun Mughriq (lautan yang menenggelamkan). Tatkala al – Juwaini meninggal dunia, Al – Ghazali pun meninggalkan Nasaibur menuju ke kediaman seorang pembantu raja yang menjadi menteri Sultan Saljuk.
Diriwayatkan pula bahwa al – Ghazali terlibat suatu perdebatan dengan beberapa ulama dan ahli pikir dihadapan pembantu raja. Berkat kebijaksanaan, keluasan ilmu, kejelasan di dalam memberikan keterangan dan kekuatan berargumentasi, akhirnya Al –Ghazali memenangkan perdebatan ini. Pembantu raja merasa kagum kepadanya, sehingga pada tahun 483 H/ 1090 M, ia diangkat menjadi guru Besar di Universitas Nizhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar, ia juga mengadakan bantahan – bantahan terhadap pikiran – pikiran golongan batiniyah, ismaliliyah, filsafat, dan lainnya.[1]
Empat tahun  kemudian , dia meninggalkan kegiatan mengajar di Baghdad untuk menunaikan ibadah haji. Seusai menunaikan ibadah haji, ia pergi menuju syam dan hidup di mesjid al – Umawi sebagai seorang hamba yang ta’at beribadah. Ia mengembara di gurun – gurun pasir untuk melatih dirinya dengan merasakan kesusahan. Dia meninggalkan kemewahan, memusatkan dirinya kepada zuhud, dan mendalami suasana rohaniah serta renungan keagamaan. Demikian, dengan baik Al – Ghazali mempersiapkan dirinya untuk kehidupan keagamaan serta mensucikan diri dari noda duniawi, sehingga ia termasuk filosuf sufi yang terkemuka. Disamping pembela dan pemimpin Islam terbesar.
Setelah itu Al – Ghazali kembali lagi ke Baghdad untuk meneruskan mengajarnya. Namun penampilannya sudah berubah dengan sebelumnya. Sewaktu berada di Baghdad, ia tampil sebagai guru ilmu – ilmu agama, sedangkan kali ini dia tidak saja sebagai seorang imam dan tokoh agama yang sufi, melainkan seorang guru yang telah benar – benar mengarifkan ajaran Rasullullah SAW sehingga mendarah daging pada dirinya. Buku yang pertama kali disusunya setelah ia kembali ke Baghdad ialah al – Munqiz Minad Dlalal. Buku ini dipandang sebagai referensi terpenting bagi para ahli sejarah yang ingin mengetahui kehidupan al – Ghazali. Buku tersebut memuat gambaran kehidupannya, terutama pada masa terjadi perubahan di dalam pandanganya perihal hidup dan nilai – nilainya. Dalam buku ini, Al – Ghazali melukiskan proses pertumbuhan iman di dalam jiwa, bagaimana hakikat – hakikat Ilahiah dapat tersingkap bagi manusia, bagaimana manusia dapat mencapai ma’rifat dengan penuh keyakinan yang tidak melalui proses berpikir dan berlogika, melainkan dengan jalan ilham dan pelacakan sufi.
Selang sepuluh tahun setelah kembali ke Baghdad, Al- Ghazali berangkat menuju Naisabur. Disini, dia mengajar beberapa waktu lamanya. Al – Ghazali meninggal dunia di kota Khurasan, kota kelahirannya pada tahun 505 H/ 1111M.
















BAB III
PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG FAKTOR FAKTOR PENDIDIKAN
Dalam uraian Bab ini, penulis berusaha mencoba mengadakan pembahasan secara komparatif, yakni mengumpulkan, menganalisis dan membandingkan pokok-pokok pikiran Al–Ghazali, mengenai pendidikan yang diklasifikasikan menurut faktor-faktor pendidikan. Berdasarkan pembahasan yang demikian itu, maka uraian pada bab ini disusun menurut urutan kelima faktor pendidikan, yaitu :
  1. Faktor tujuan pendidikan
  2. Faktor pendidikan
  3. Faktor anak didik
  4. Faktor alat pendidikan
  5. Faktor lingkungan pendidikan
A.     Faktor Tujuan Pendidikan
Al-Ghazali menjelaskan tentang tujuan pendidikan dalam berbagai kitabnya, yang disusun sebagai berikut:
  1. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja.
Al-Ghazali mengatakan:
"Apabila engkau mengadakan penyelidikan/penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri." (AI-Ghazali lhya' Ulumuddin, Juz I, 13).
Dari perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa penelitian, penalaran dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran adalah mengandung kelezatan intelektual dan spirittual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, kepada mereka dalam mencari hakikat ilmu pengetahuan. Demikian Al Ghazali sangat menganjurkan kepada para pelajar agar menjadi orang yang cerdas, pandai berpikir, mengadakan penelitian yang mendalam dan dapat menggunakan akal pikirannya dengan baik dan optimal, untuk me­nguasai ilmu pengetahuan dengan sesungguhnya dan mengerti maksudnya.
Dapat dikatakan, bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan cinta kebenaran yang dikemukakan Al-Ghazali hampir seribu tahun yang lalu masih mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan modern, karena sama-sama menganjurkan untuk menggalakkan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan secara meluas dan merata, terutama dalam rangkaian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tinggi di akhir abad XX ini.
  1. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak
AI-Ghazali mengatakan:
"Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya." (AI-Ghazali, Mizanul ‘Amal, 1961, I, 361).
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa AI-Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fudamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara.
Kemudian ia memberikan nasihat kepada muridnya:
"Hai anak! ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya gila, dan amal tidak pakai ilmu itu akan sia-sia dan ketahuilah bahwa semata-mata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini, dan tidak akan membawa kepada taat dan kelakpun di akhirat tiada akan memeliharamu (menjagamu, menghindarkan) daripada neraka jahanam." (Al-Ghazali, O Anak!’ 1983, 17).
Jadi, antara ilmu dan amal harus seimbang dan saling melengkapi, searah dan setujuan maksudnya atau dengan kata lain, ilmu haruslah alamiah dan amal harus ilmiah, sehingga dapat tercapai keharmonisan antara ilmu dan amal perbuatan.
Setiap ilmu dan amal dari setiap manusia mesti dipertanggungjawabkan dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan di tempat lain, ia menegaskannya sebagai berikut:
“Dan jika yang menjadi sengaja (niat) mu hendak menghidupkan syari’at Nabi Muhammad SAW dan mensucikan budi perkertimu serta menundukkan nafsu yang tak putus – putusnya mengajak kepada kejahatan itu, maka mujurlah engkau mujur”
Dalam hal ini Prof. Sikun Pribadi mengatakan bahwa:
“Psycho-hygiene" sebagai satu aspek daripada tujuan pendidik­an. Psycho-hygiene atau kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi ­yang mutlak untuk produktif, kreatif dan progresif. Sebelum kondisi itu terjadi kita tidak akan memperoleh manusia yang dapat melaksanakan segala cita-cita yang luhur."( Sutari Imam Barnadib, 1982, 56).
Kemudian Paul Haberlin, seorang pendidik dari aliran idealisms Objektif merumuskan tujuan pendidikannya sebagai berikut:
“ Yang dididik adalah kecakapan batin dan tujuan hidupnya."
Dr. H. Mahmud Yunus menyatakannya pula:
“ Tugas yang pertama dan terutama yang terpikul atas pundak alim ulama', guru agama dan pemimpin Islam ialah mendidik anak - anak, pemuda-pemuda, putra-putri, putra – putri dan masyarakat umumnya supaya semuanya itu berakhlak mulia dan  budi pekerti yang halus. Padahal hidup bermasyarakat, tolong - menolong, berlaku jujur dan peramah, berlaku adil dalam segala hal, berkasih sayang antara satu dengan yang lain……. (Mahmud Yunus, 1978, 12).
Kemudian Herbert, seorang ahli didik Jerman (1776-1841) bahwa:
“ Tujuan yang asli dari pendidikan ialah mempertinggi akhlak kemanusiaan.”
Dari perbandingan di atas, dapat dikatakan bahwa aspek kejiwaan atau kerohanian yang dikemukakan Al-Ghazali memiliki persamaan dengan pendapat sarjana-sarjana tersebut, meskipun berbeda susunan katanya tetapi sebenarnya tidak berjauhan maksudnya, bahkan berdekatan artinya satu dengan lainnya. Akan tetapi menurut pendapat penulis, konsep moral atau akhlak yang dikemukakan oleh Al-Ghazali lebih luas dan mendalam pembahasannya yang dasar pandangannya dari kandungan ajaran wahyu (agama) daripada pendapat-pendapat sarjana modern.
Akan tetapi menurut pendapat penulis, konsep moral atau akhlak  yang dikemukakan oleh Al – Ghazali lebih luas dan mendalam pembahasannya yang dasar pendangannya dari kandungan ajaran wahyu (agama).
  1. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
Al – Ghazali mengatakan:
“Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adappun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan bagi pimpinan Negara dan penghormatan menurut kebiasaanya. ”
Demikian Al – Ghazali sangat memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus tercipta kebahagiaan bersama di dunia dan akhirat, alasan yang mendukungnya.
“Jelasnya, tujuan manusia itu bergabung dalam agama dan dunia. agama tidak akan teratur melainkan dengan teraturnya duniam dan dunia adakah tempat menyebar benih bagi akhirat dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah bagi orang yang ingin mengambilnya menjadikan alat dan tempat tinggal.”
Demikian itulah Al – Ghazali, sering dengan kepribadian, ia tidak memperhatikan kehidupan dunia semata – mata atau kehidupan akhirat semata – mata, tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya, tanpa meremehkan salah satunya. Jadi, ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim khususnya, menurut Al – Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau kehidupan akhirat semata – mata, akan tetapi harus mencakup kebahagian dunia dan akhirat.
            Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al – Ghazali, meliputi:
1)      Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang berpikir, menggalakkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2)      Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian kuat.
3)      Aspek ke-Tuhan-an, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

B.      Faktor Pendidik
Al – Ghazali mempergunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, al – mu’allimin (guru), al – Mudarris (pengajar), al – muaddib (pendidik) dan al – Walid (orang tua). Oleh karena pembahasan dalam bab ini, meliputi istilah pendidik tersebut, yakni pendidik dalam arti yang umum, yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran.
Adapun pembahasannya dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Profesi pendidik/ pengajar menurut Al – Ghazali
  1. Alasan yang berhubugan dengan sifat naluriah
Dalam Kitab “Ihya Ulumuddin” ia menyebutkan:
“Apabila ilmu pengetahuan kita lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu. Maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu.”
Jadi mengajar dan mendidik adalah sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan.
Akan tetapi posisi pengajar dalam mansyarakat modern dewasa ini, lebih sering hanya di pandang sebagai petugas semata yang mendapat gaji dari Negara atau instansi/ organisasi swasta dan tanggungjawab tertentu, serta tugasnya relativ dilimitasi dengan dinding sekolah, jangan melangkah lebih jauh dari tugas dan tanggungjawab (formal)nya.
  1. Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum
Al – Ghazali “Mizanul ‘Amal” mengatakan:
“Orang yang mempunyai ilmu itu berada dalam keadaan : mencari faedah dan guna ilmu, mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya – Tanya, memberikan wawasan ilmu dan mengjarkannya. Dan inilah keadaan yang termulia baginya. Jadi, barangsiapa telah mencapai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya dan selanjutnya diajarkan, maka ia adalah laksana matahari yang bersinar dan menyinari lainnya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat mengharumkan dan ia sendiri berbau haram. ”
Adalah menjadi jelas bahwa kemuliaan mengajar adalah mempunyai dua segi kemanfaatan. Pertama bagi orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan itu sendiri akan semakin bertambah pengetahuannya dan mengambil ilmu pengetahuan sebaik – baiknya. Kedua, bagi orang lain yang diberi ilmu pengetahuan, diajar dan dididik akan semakin bertambah pula pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaat ilmu pengetahuan tersebut. Akan tetapi manfaat yang kedua ini, lebih besar dan meluas manfaatnya. Karena bukan hanya bermanfaat untuk seorang pendidik atau pengajar, melainkan untuk masyarakat dan umat manusia seluruhnya.
  1. Alasan yang behubungan dengan unsur yang dikerjakan
Al – Ghazali menyebutkan:
“Seorang guru adalah berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian – bagian (jauhar) tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT.”
Jadi, kesimpulannya, seorang guru adalah orang yang menempati status yang mulia di dataran bumi, ia mendidik jiwa, hati, akal dan roh manusia. Sedangkan jiwa manusia adalah unsur yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk yang lain. Analisis yang deduktif dyang dikemukakan Al – Ghazali tersebut adalah sangat benar dan tepat sekali, karena ia juga mendalami filsafat dan menguasai logika secara cermat dan akurat.
2.      Gaji pengajar (guru) menurut Al – Ghazali
Para pakar fiqh memiliki pendapat yang berbeda – beda mengenai gaji yang diterima guru dari mengajarkan Al – Qur’an. Masing – masing pakar fiqh mempunyai pendapat yang dipedomani mereka. Dan, masalah ini menjadi perdebatan sengit di antara mereka, sebab ia menyangkut soal Al – Qur’an sebagai yang paling suci di kalangan umat Islam.
Berbeda dengan Al – Qobisi, Al – Ghazali berpendapat bahwa:
·        “Al – Qur’an diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru) yang mengajarkannya. Ini adalah alas an agama yang menuntut para guru menunaikan tugas dan kewajibannya (bekerja) di jalan Allah”
·        “Pemimpin – pemimpin kaum muslimin pada masa awal kebangkitan Islam, semuanya memperhatikan kaum muslimin. Tidak kedengaran bahwa mereka mengkhususkan para guru untuk mengajarkan anak – anak mereka di surau – surau (kuttab) dan mengambil harta Allah untuk menggaji guru – guru tersebut”
Berdasarkan pada dua alas an tersebut sehingga Al – Ghazali berkesimpulan mengharamkan gaji. Suatu ketika Al – Ghazali mengatakan:
“Lihatlah kesudahan agama di tangan orang –orang yang megatakan mereka bermaksud mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah) oleh sebab itu mereka memiliki ilmu fiqh dan kalam serta mengajarkan dua ilmu itu dan lain – lainnya lagi. Mereka menghabiskan harta dan pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani sultan – sultan untuk mencari pembagian makanan. Alangkah hinanya seorang alim yang rela menerima kedudukan seperti ini.”
3.      Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al – Ghazali
Dalam “Ihya Ulumuddin”, Al – Ghazali melukiskan betapa penting kepribadian bagi seorang pendidik:
“Seorang guru mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.”
Statement Al – Ghazali tersebut dapat disimak bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian sesesorang pendidik adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena kepribadian seorang pendidik akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi Al – Ghazali sangat menganjurkan agar seorang pendidik mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan pada anak didiknya. Oleh Al – Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan bayang – bayangannya. Bagaimanakah bayang – bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok.
Kemudian Al – Ghazali mengemukakan syarat – syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut:
1)      Sabar menerima masalah – masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik.
2)      Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3)      Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya atau pamer.
4)      Tidak takabbur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya.
5)      Bersikap tawadu’ dalam pertemuan – pertemuan.
6)      Sikap dan pembicaraannya tidak main – main.
7)      Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid – muridnya.
8)      Menyantuni serta tidak membentak – bentak orang – orang bodoh.
9)      Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik – baiknya.
10)  Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak di mengerti.
11)  Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju’ kepada kebenaran.
Dari pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang pendidik meliputi berbagai aspek, yaitu:
-         tabiat dan prilaku pendidik
-         minat dan perhatian terhadap proses belajar – mengajar
-         kecakapan dan keterampilan mengajar
-         sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran
Di samping itu, Al – Ghazali menganjurkan kepada para pendidik agar meningkatkan dan membina kepribadiannya dengan cara mendidik dirinya sendiri:
“Dan ia (pendidik) berhati – hati pula mendidik dirinya sendiri dengan membiasakan sedikit makan sedikit berkata – kata dan sedikit tidur serta membanyakkan sembahyang (shalat, berdoa), sedekah dan puasa. Lagi pula dalam kehidupannya mengikuti seorang ahli itu, dijadikannya segala akhlak yang utama, sebagai sabar, syukur, tawakkal, yakni tak keluh kesah (rela dengan apa yang ada), berhati tenang, berlapang dada, rendah hati, tahu diri, berlaku benar, menepati janji, menjadikan pakaian hidupnya.”
4.      Tugas dan kewajiban pendidikan menurut Al – Ghazali
Al – Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya; “Ihya Ulumuddin” dan “Mizan Al ‘Amal” dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Adapun pembahasan dalam bab ini, dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya.
“Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar – benarnya ‘alim (berilmu, intelektualen). Tetapi tidak pulalah tiap – tiap orang yang ‘alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW, itu.”
Kemudian Al – Ghazali berpendapat:
“Seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terimakasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.”
Jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata – mata. Dan ini dapat dipandang dari dua segi: pertama, sebagai tugas kekhalifahan dari Allah. Kedua, sebagai pelaksanaan ibadah kepada Allah yang mencari keridhaa-Nya dan mendekatkan diri kepadaNya. Demikian itu dimaksudkan untuk memurnikan tugas mendidik dan mengajar itu sendiri, karena jika seorang guru menilai tugas mengajarnya dari segi materi semata dan ia sebagai guru hanya sekadar mencari kekayaan belaka, maka hal ini dipandang akan melunturkan nilai – nilai pendidikan atau bahkan merusak citra dan kemuliaan seorang guru.
  1. Memberikan kasih sayang terhadap anak didik
Al – Ghazali mengatakan:
“Memberikan kasih sayang kepada murid – murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri.”
Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi hubungan psikologis antara guru dan anak didiknya, seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran.
  1. Menjadi teladan bagi anak didik
Al – Ghazali mengatakan:
“Seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataanya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat denagn mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.”
Dari perkataan tersebut jelaslah bahwa seorang guru hendaklah mengerjakan apa yang dilarangnya dan mengamalkan segala ilmu pengetahuan yang diajarkannya, karena tindakan dan perbuatan guru adalah menjadi teladan bagi anak didiknya.
  1. Menghormati kode etik guru
Al – Ghazali mengatakan:
“Seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek – jelakkan mata pelajaran lainnya di hadapan muridnya.”
C.     Faktor Anak Didik
Al – Ghazali mempergunakan istilah anak dengan beberapa kata, seperti al – Shobiy (kanak - kanak), al – Muta’allim (pelajar), dan Tholibul ‘ilmi (penuntut ilmu pengetahuan).
Oleh karena itu istilah anak didik di sini dapat diartikan; anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan objek utama dari pendidikan.
Adapun pembahasannya dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Fitrah menurut Al – Ghazali
Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), sepadan dengan kata “khalaqa”. Jadi fitrah (isim masdar) berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya atau “asal kejadian”. Untuk mendapat pengertian yang jelas tentang fitrah sebagaimana yang dikehendaki Al – Ghazali, maka perlu dikemukakan ayat – ayat Al – Qur’an dan Al – Hadits yang menjadi sumber pemikirannya, besar interprestasinya ataupun perkataan – perkataanya sendiri yang berhubungan dengan hal tersebut.
a.      Ayat Al – Qur’an
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS.30; 30).
Seluruh manusia adalah diciptakan atas dasar iman (Tauhid), semua Nabi yang datang adalah membawa agama Tauhid, oleh karena itu mereka menyeru dengan seruan:
“Katakanlah bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” Sesungguhnya manusia itu tentu mempercayai tentang adanya Tuhan, hanya saja mereka keliru dalam kenyataannya dan dalam sifatnya. (Al – Ghazali, Mizanul ‘Amal).
Demikianlah penafsiran Al – Ghazali tentang ayat diatas, yang menunjukkan bahwa arti fitrah adalah beriman kepada Allah SWT.
b.      Al – Hadits
“Nabi Muhammad SAW telah bersabda: setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya kedua orang tuanya yang menjadikan ia Yahudi, atau nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Mutafaqa’alaih dari Abu Hurairah)
Al – Ghazali memberian komnetarnya sebagai berikut:
“Sesungguhnya seorang anak itu, dengan jauharnya diciptakan Allah dapat menerima kebaikan dan keburukan keduanya. Dan hanya kedua orang tuanya yang dapat menjadikan anak itu cenderung pada salah satu pihak.”
Kemudian Al – Ghazali memberikan komentar lain terhadap Al – Hadits tersebut, dalam kitabnya “Al – Mungiqidz Minadl Dlalal”:
“Karena itu lalu hatiku sangat tertarik untuk menyelidiki apa sesungguhnya fitrah asli dan apa sebenarnya kepercayaan – kepercayaan yang timbul karena taklid kepada orang tua dan guru itu.”
2.      Perkembangan anak didik menurut Al – Ghazali
Al – Ghazali mengatakan:
“Kita semua juga memaklumi bahwa pada permulaanya, tubuh itupun bukannya sekaligus diciptakan oleh Allah dalam keadan sempurna, tetapi kesempurnaan inipun dapat diperolehnya sedikit demi sedikit. Ia dapat menjadi kuat dan kokoh setelah mengalami evolusi pertumbuhan, mendapatkan makanan dan lain – lain lagi. Hal yang demikiani ini tidak berbeda sedikitpun dengan halnya jiwa. Ia mula – mula serba kurang, namun begitu ia dapat menerima hal – hal yang akan menyempurnakannya. Jalan untuk menyempurnakan itu ialah dengan memberiakn didika budi pekerti yang luhur, akhlak yang mulia serta mengisinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat.” (Jamaluddin Al – Qasimi, 1983, 520).
Jadi jelaslah bahwa, unsure kehidupan ada dalam dir manusia dan diperlengkapinya dengan fitrah maka manusia itu mengalami perkembangan dan perubahan – perubahan dalam dua aspek. Pertama; aspek fisik, aspek fisik yang memiliki potensi – potensi dan kemampuan – kemampuan tenaga fisik yang bila benar dan baik pengembangannya, maka akan menjadi kecakapan dan keterampilan kerja untuk memanfaatkan karunia Allah di bumi dan dilangit ini, sebagai sarana untuk beribadah kepadaNya (Pengabdian pada Maha Pencipta). Kedua, aspek psikis yang mengandung potensi – potensi yang tidak terhitung jumlahnya, yang bila benar dan baik pendidikan maupun pengembangannya, maka akan terbentuklah manusia yang berpikir ilmiyah, dan bersikap ilmiyah dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki, demikian pula akan terbentuk manusia yang berakhlak mulia, berkepribadian kuat dan bertakwa kepada Allah SWT.
Adapun Al – Ghazali membagi tingkatan – tingkatan perkembangan manusia, yakni:
1)      Al – Janin, yaitu tingkat anak yang berada dalam kandungan.
2)      Al – Thifli, yaitu tingkat anak – anak dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan sehingga mengetahui baik ataupun buruk.
3)      Al – Tamziz, yaitu tingkat anak yang telah dapat membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk, bahkan akal pikirannya telah berkembang sedemikian rupa, sehingga telah dapat memahami ilmu naluri.
4)      Al ‘Aqil, yaitu tingkat manusia yang telah berakal sempurna bahkan akal pikirannya telah berkembang secara maksimal sehingga telah menguasai ilmu naluri.
5)      Al – Auliya’ dan Al - Anbiya, yaitu tingkat tertinggi pada perkembangan manusia.
3.      Etika anak didik terhadap pendidik menurut Al – Ghazali
Al – Ghazali menjelaskan etika anak didik terhadap pendidik ini secara terinci dalam kitabnya “Bidayatul Hidayah”, yang meliputi 13 aturan, yaitu:
  1. Jika berkunjung kepada guru harus hormat dan menyampaikan selam terlebih dahulu
  2. Jangan banyak bicara jika diajak bicara oleh guru
  3. Jangan bertanya jika belum minta izin lebih dahulu
  4. Jangan sekali – kali menegur ucapan guru
  5. Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru
  6. Jangan mengisyaratkan terhadap guru, yang dapat memberi perasaan khilaf dengan pendapat guru
  7. Jangan berunding dengan temanmu di tempat duduknya, atau berbicara dengan guru sambil tertawa
  8. Jika duduk di hadapan guru jangan menoleh – noleh tapi duduklah dengan menundukkan kepala dan tawadlu’ sebagaimana ketika melakukan shalat
  9. Jangan banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang enak
  10. Sewaktu guru berdiri, murid harus berdiri sambil memberikan penghormatan kepada guru
  11. Sewaktu guru sedang berdiri dan sudah akan pergi, jangan sampai dihentikan cuma perlu bertanya
  12. Jangan sekali – kali bertanya sesuatu kepada guru di tengah jalan, tapi sabarlah nanti setelah sampai di rumah.
  13. Jangan sekali – kali berburuk sangka terhadap guru mengenai tindakannya yang kelihatannya mungkar atau tidak di ridhai Allah menurut pendangan murid.
Pandangan AL – Ghazali tersebut apabila dilaksanakan sebaik – baiknya, maka akan terwujudlah norma – norma dan nilai yang positif yang akan mempengaruhi keberhasilan di dalam proses pendidikan dan pengajaran, yaitu antara lain:
-         Memperhatikan kemuliaan, kehormatan dan kewibawaan guru, sehingga hubungan antara guru dan murid dapat berjalan secara harmonis.
-         Memperhatikan konsentrasi dan suasana belajar di dalam kelas.
-         Sopan santun dan tata krama dalam pergaulan sehari – hari.
4.      Tugas dan kewajiban para pelajar
Al – Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban para pelajar pada bagian khusus dari kitabnya “Ihya Ulumuddin” dan “Mizanul ‘Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Adapun pembahasan bab ini, diuraikan sebagai berikut:
  1. Mendahului kesucian jiwa
Al – Ghazali mengatakan:
“Mendahulukan kesucian jiwa dari kerendahan akhlak dan dari sifat – sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan adalah merupakan kebaktian hati, shalatnya jiwa dan mendekatkan batin kepada Allah Ta’ala.” (Al – Ghazali, Ihya Ulumuddin).
Belajar dan mengajar adalah sama dengan ibadah shalat, sehingga shalat tidak sah kecuali dengan menghilangkan hadas dan najis, maka demikian pula hal mencari ilmu, mula – mula harus menghilangkan sifat – sifat tercela seperti: dengki, takabbur, menipu dan sebagainya. Namun apabila ada pelajar yang budi perkertinya buruk dan hina tapi memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia hanya memperolehnya padakulit dan lahirnya saja, bukan isi dan hakikatnya sehingga tidak bermanfaat bagi dirinya dan lainnya. Jadi tidak membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  1. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
Al – Ghazali mengatakan:
“Seorang pelajar seharusnya mengurangi hubungannya dengan kesibukan – kesibukan duniawi dan menjauhkan diri dari keluarga dan tanah kelahirannya. Karena segala hubungan itu mempengaruhi dan memalingkan hati pada yang lain.”
Jadi maksudnya adalah untuk mencurahkan segala tenaga, jiwa raga dan pikirannya agar dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada ilmu pengetahuan. Oleh karena pikiran dan jiwa yang dibagi – bagi tidak akan memiliki kesanggupan yang maksimal untuk mengetahui hakikat kebenaran suatu ilmu pengetahuan.
  1. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya
Al – Ghazali menyatakan:
“Seorang pelajar seharusnya jangan menyombongkan diri dengan ilmu pengetahuannya dan jangan menentang gurunya. Akan tetapi patuhlah terhadap pendapat dan nasihat seluruhnya, seperti patuhnya orang sakit yang bodoh kepada dokternya yang ahli dan berpengalaman.”
Yang dimaksud guru tersebut adalah seorang guru yang mempunyai keahlian yang tinggi dan pengalaman yang luas, telah menyelidiki dengan teliit keadaan pelajar itu sehingga mengetahui kelemahan dan penyakitnya, setelah itu baru memberiakn nasihat, petunjuk dan pengobatan pada anak didik.
  1. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Al – Ghazali mengatakan:
“Seorang pelajar seharusnya mengetahui sebab diketahuinya kedudukan ilmu pengetahuan yang paling mulia. Hal ini dapat diketahui denan dua sebab: pertama, kemuliaan hasilnya, Kedua, kepercayaan dan kekuatan dalilnya.”
Jadi seorang pelajar harus mendahulukan ilmu pengetahuan yang paling pokok dan mulia, kemudian ilmu pengetahuan  yang penting, lalu ilmu pengetahuan sebagai pelengkap dan seterusnya, karena ilmu pengetahuan yang satu dengan lainnya erat sekali dan saling membantu.











DAFTAR PUSTAKA
·        Abu Hamid Al – Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin Juz I-III, (Kairo: Isal Babiyul Hilbi wa Syirkah), 1957.
·        ----------------, Al – Munqidzu Minald Dlalal; Pembebasan dari Kesesatan, Terj. Abdullah Bin Nuh, (Jakarta: Tintamas) 1966.
  • ----------------, Mizanul ‘Amal, (Kairo: Darul Ma’arif), 1967.
  • ----------------, O Anak!, M. Zain Djambek, (Jakarta: Tintamas), 1983.
  • A. Hanafi, Ma, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1976
·        Jamaluddin Al – Qayimi, Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mukmin, Ringkasan dari Ihya Ulumuddin, Terj. Moh. Abdai Rathomy, (Bandung: CV. Diponegoro), 1983
·        Al – ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumuddi Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam, Terj. Irawan Kurniawan, (Bandung: PT Mizan Pustaka) 1429 H/ 2008.
  • Dahlan, Abdul Aziz, Pemikir Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Djambatan)
·        Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan Al – Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara), 1991.
·        Sulaiman, Fathiyyah Hasan, Alam Pikiran Al – Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu, (Bandung: CV. Diponegoro) Cet I, 1406 H – 1986.


[1] A. Hanafi M.A., Filsafat Islam, Bulan Bintang, 1976, hal. 197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar